Reaktualisasi Pendidikan Karakter


Satu permintaan penting Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono kepada Mendiknas adalah dilaksanakannya “Pendidikan Karakter”. Seorang Presiden yang meminta, tentu hal tersebut adalah penting. Muncul berbagai pertanyaan. Ada apa dengan pendidikan karakter di negeri ini?.

Pendidikan karakter mengalami sejarah panjang, mulai dari eropa hingga di negeri ini, sebagaimana dilaksanakan oleh RA. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Sokarno, Hatta, Tan Malaka, dan Mohammad Natsir.

Bukan hanya Presiden RI SBY saja yang resah terhadap karakter anak bangsa ini, kita pun sesungguhnya resah. Coba perhatikan anak bangsa ini, mulai di rumah, di ruang kelas, di jalan raya, bukanlah hampir setiap hari mata kita dipertontonkan pada tawuran pelajar dan mahasiswa, sepertinya pendidikan karakter telah mengalami kemunduran, padahal karakter adalah segalanya. Mahatma Gandhi mengatakan, “kualitas karakter adalah satu-satunya faktor penentu derajat seseorang dan bangsa”. Ratna Megawangi mengatakan, “segala sesuatunya karena karakter”.

Doni Koesoema A (2007) dalam bukunya “Pendidikan karakter” mencatat alasan kemunduran pendidikan karakter, antara lain: (1) adanya perbedaan pandangan dan visi tentang pendidikan karakter sehingga tidak semua orang sepakat dan sepaham tentang pendidikan karakter; (2) filosofis positivisme yang membedakan antara fakta ilmiah, teruji didukung bukti dengan nilai yang baik kaum positivistik dipahami hanya sekedar ekspresi perasaan bukan sebagai kebenaran objektif; (3) personalisme yang merayakan nilai subjektif, otonomi dan rasa tanggung jawab pribadi; (4) pluralisme sosio-politik-kultural . Para pakar pendidikan mengelompokan karakter kedalam 9 pilar, yakni : (1) cinta Tuhan dan ciptaanyya; (2) kemandirian dan tanggungjawab; (3) kejujuran, amanah, dan bijaksana; (4) hormat dan santun; (5) dermawan , suka menolong, dan gotong royong; (6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan rendah hati; (9) toleransi , kedamaian dan kesatuan.

Jadi terdapat empat hal penting yang mesti diperhatikan ketika mereaktualisasikan pendidikan karakter, yakni melalui : (1) memberi pemahaman yang benar tentang pendidikan karakter; (2) pembiasaan; (3) contoh dan tauladan; dan (4) pendidikan/pembelajaran secara integral.

PEMAHAMAN, Alasan pendidikan karakter sulit diterapkan dalam kerangka pendidikan di negeri ini adalah ketidakpahaman dan ketidakjelasan konseptual tentang pendidikan karakter yang kemudian berakibat pada kebijakan di tingkat lokal yang mengatasnamakan pendidikan karakter tidak tepat sasaran dan tidak terintegrasi , serta mengalami persoalan mekanisme evaluasi.

PEMBIASAAN, “kebiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan”. Dikutip dari Ibrahim hamd Al-Qu’ayyid(2005) dalam bukunya “10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas”. Zig Ziglar (2001) dalam bukunya “Something Else to Smile” mengingatkan “Perhatikan pikiranmu karena akan menjadi kata-katamu, perhatikan kata-katamu karena akan menjadi perbuatanmu, perhatikan perbuatanmu karena akan menjadi kebiasaanmu, perhatikan kebiasaanmu karena akan menjadi karaktermu”. Ibn Miskawaih (1998) dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlak” menegaskan bahwa “karakter manusia terletak pada pikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”. Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your kids” mengatakan hal senada bahwa “otak membutuhkan pengulangan untuk membuat tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”.

KETELADANAN, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mengatakan “keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam mempersiapkan dan membentuk karakter, moral, spiritual, dan etos kerja anak”. Anak belajar dari apa yang dilihat dan didengar dari lingkungannya. Anak melihat orang tuanya berdusta, ia tak mungkin jujur. Melihat orang tuanya berkhianat, ia tak mungkin belajar amanah. Melihat orang tuanya selalu memperturukan hawa nafsu, ia tak mungkin belajar keutamaan. Mendengar orang tuanya berkata kufur, caci maiki, dan celaan, ia tak mungkin belajar bertutur santun dan manis. Melihat orang tuanya marah dan bertegang urat syaraf, ia tak mungkin belajar sabar, dan melihat orang tuanya bersikap keras dan bengis, ia tak mungkin belajar kasih sayang. Orang tua, guru, dosen dan para pendidik lainnya tidak memiliki hak moral terhadap anak didiknya sebelum ia menjadi contoh bagi mereka. Allah SWT mengingatkan dalam firmannya QS 2:44 “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri atas kewajibanmu, padahal kamu membaca al-kitab, maka tidakkah kamu berfikir?”

PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN TERINTEGRASI, Pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter, berbasis nilai, berbasis moral dan sejenisnya dirancang secara terintegrasi dengan pendidikan dan pembelajaran lainnya. Ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.

Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran berbasis karakter lebih ditentukan oleh strategi pembelajaran, disamping ditentukan oleh subject master dan komponen lain pembelajaran, dalam arti bagaimana peserta didik mengkonstruksi informasi ke-karakter-an ke dalam otak dan pikirannya, selain subject matter ke-karakter-an tersebut.

Informasi, baik berupa nilai, keyakinan dan pengalaman yang masuk ke alam sadar dan alam bawah sadar membentuk mindset yang kemudian sangat mempengaruhi pikiran seseorang, selanjutnya akan mempengaruhi prilaku kita.

Sumber : Makalah Dr. Aswandi dalam Seminar Pendidikan


0 komentar: