Robohnya Sekolah Kami


“Berpikir tanpa belajar membuat orang bertingkah aneh, dan belajar tanpa berpikir menimbulkan bencana” Kong Hu Chu-




Sadarkah anda bahwa tetangga kita Budi yang pendiam berubah menjadi nakal? Astri yang dulu pemalu kini menjadi gadis genit? Dan Irfan yang suka menolong sekarang suka duduk-duduk saja? Padahal mereka baru saja tamat daro sekolah mereka. Mengapa mereka tidak menjadi lebih baik? Kita pun tak sedikit melihat anak kecil yang di masa kecilnya dengan lantang mengucapkan ‘Aku ingin jadi presiden!’ ‘Aku ingin menjadi astronout!’ atau ‘Aku ingin menjadi insinyur1’

Ternyata ketika dewasa, mereka mengubah cita-cita mereka. Si calon presiden tadi bahkan menghapus cita-citanya. Boro-boro menjadi presiden, mau cari kerja pun susah katanya. Si calon astronout pu tak lagi mempertahankan cita-citanya. Bahkan bicara tentang angkasa luar pun tak pernah dilakukan. Ia hanya berpikir bagaimana skripsinya selesai. Dan si calon insinyur pun sama saja. Mereka berubah menjadi pemuda-pemuda yang pesimis.

Belasan tahun sekolah telah mengubah mereka. Tapi perubahan apa? Sekolah seharusnya merubah si calon presiden menjadi benar-benar calon presiden yag siap, yang mampu mengenal masalah bangsanya, yang percaya diri, yang mahir berbagai bahasa asing sebagai bekal seorang presiden, yang mahir berkomunikasi dengan efektif, dan yang mampu memimpin. Sekolah seharusnya merubah si calon astronout menjadi ilmuwan yang cerdas, percaya diri dan mampu mengangkat harkat bangsanya lewat angkasa luar. Demikian pula si calon insinyur. Setelah belasan tahun di bangku pendidikan, ia seharusnya berubah menjadi benar-benar insinyur yang melek teknologi dan terampil dalam semua skillnya.

Atau setidaknya sekolah mampu terus menjaga mimpi mereka, bahkan membakar terus motivasinya, bukan sebaliknya.

Dosa-dosa Sekolah

Tapi mengapa sekolah justru memadamkan bara dalam diri setiap anak? Bahkan melahirkan banyak pengangguran, banyak anak nakal, banyak pemuda yang pesimis, banyak perwira yang kejam, banyak orang pintar yang culas, bahkan pemimpin-pemimpin yang korup? Inikah tanda bahwa sekolah telah ‘runtuh’?

Bukankah si anak sebelumnya tak mengenal kata menyontek, tapi sekolahlah yang mengajarkannya? Sekolah secara tak sengaja telah mendidik mereka bahwa menolong teman yang kesulitan menjawab soal dikala tes itu baik. Sekolah malah membiarkannya. Sehingga lahirlah budaya menyontek berjamaah. Atau setidaknya, pada sekolah kebanyakan tidak ada keseriusan untuk menghapus nbudaya ini.

Bukankah anak-anak tak mengenal kata nilai dan skor? Sehingga ketika mereka dulu belajar berjalan, karena mereka betul-betul butuh berjalan? Mereka tak butuh skor berjalan untuk bisa berjalan, bukan? Bukankah mereka pun dulu ikhlas dan sangat bersemangat belajar bersepeda. Karena mereka sadar itu keharusan untuk meraih kesuksesan hidup. Sehingga mereka sangat bersemangat mempelajarinya. Mereka tak peduli jatuh bangun, tertimpa sepeda, bangun lagi, menabrak pohon, atau masuk parit sekalipun. Sebelum sekolah, mereka telah diajarkan makna kerja keras, sungguh-sungguh dan arti sebuah mimpi, bukan arti mengejar nilai,

Tapi setelah sang ibu memasukkan mereka ke sekolah. Apa yang terjadi? Perlahan-lahan semangat belajar mandiri mereka padam seiring perjalanan waktu. Kesungguh-sungguhan mereka lenyap karena mereka dipaksa mengejar target kurikulum dan angka. Kecertiaan dan ksukarelaan mereka dalam belajar tak berbekas karena sekarang para guru siap menuliskan angka merah, memberi remedial, atau ancaman tidak naik kelas. Bukankah ini dosa-dosa sekolah kita?

Bahagia Meninggalkan Sekolah

Para siswa sekarang duduk manis si bangku sekolah dengan penuh kepura-puraan. Lihat mereka bergembira ketika lonceng berbunyi. Seolah-olah terlepas dari belenggu yang berat. Mereka menunggu waktu berjalan dan segera berhamburan ketika waktunya tiba. Lihat pula ketika perpisahan sekolah terjadi. Itulah saat-saat paling membahagiakan mereka. Mereka seakan berkata, selamat tinggal ‘penjara’, kami berjanji tak akan kembali lagi. Dan kenyataannya mereka memang tak akan pernah kembali lagi ke sekolah tersebut. Bukankah tanda cinta itu tak ingin berpisah? Mengapa mereka malahan sangat bahagia ketika perpisahan itu terjadi?

Pernah melihat seorang anak bayi yang memberikan atau menawarkan mainannya atau maknannya pada seekor kucing di rumahnya? Atau seorang bayi yang melambai senyum pada burung dalam sangkar? Apakah maknanya itu selain bukan karena mereka ingin bersahabat dan menolong dengan tulus pada siapa saja? Tapi mengapa semakin tinggi sekolah mereka, tak mudah bagi seorang manusia untuk berkenalan dengan sembarang orang. Sekolah telah mengajarkan mereka untuk mncurigai orang terlebih dahulu sebelum benar-benar percaya.Sekolah mengajarkan mereka berhati-hati dengan yang namanya ‘orang lain’? Hidup sekarang penuh dengan kecurigaan dan saling tidak percaya. Sekolah terus berperan besar dalam hal ini.

Anda yang baru bekerja di kantor pasti sering melihat ‘sambutan’ khususnya pada pendatang baru. Penghuni lama psti bilang ‘ospek’ dulu baru bisa kerja. Akhirnya si karyawan baru tersebut mengalami sedikit pelecehan rasa kemanusiaan mereka. Mereka disuruh-suruh melakukan hal-hal aneh dan tak berguna sama sekali dulu selama beberapa lama, sampai para ‘senior’ puas. Bukankah model sepeti itu tak pernah diajarkan oleh kehidupan? Siapakah yang mengajarkan pelajaran ini kalau bukan sekolah atau kampus? Bukankah ospek adalah produk sejati sekolahan atau kampus...? Mereka lah yang mengajarkan kita untuk membodoh-bodohkan teman baru kita.

0 komentar: